Cinta Pertama di Akar Kuadrat
Suci Nurkhasanah
”Ya ampun, aku lupa!” Begitulah ekspresiku memulai pagi ini. Aku
terperanjat ketika melihat teman-temanku berhamburan di kelas.
”PR massal!” teriak salah satu dari mereka.
Seketika, aku keluarkan buku tugasku. Secepat kilat aku menyontek
pekerjaan teman. Huh, sial sekali aku pagi ini. Pagi-pagi seperti ini
sudah mandi keringat. Begitulah suasana pagi hari yang mendebarkan di
SMA Negeri 1 Muntilan.
Bermodalkan nilai yang
pas-pasan, aku memberanikan diri mendaftar di SMA Negeri 1 Muntilan. Aku
sangat senang ketika diterima di sekolah ini. Tetapi, setelah test
menentukan kelas, aku masuk di kelas X-8. Artinya adalah sebuah kelas
unggulan yang menggunakan dua bahasa dalam setiap pelajarannya, yaitu
Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Aku menganggap ini sebuah kesialan.
Bukan keberuntungan. Karena aku harus belajar ekstra keras untuk tidak
menjadi yang terburuk.
Matematika adalah pelajaran
yang aku benci. Kuakui, aku tidak begitu lincah dalam bermain angka.
Baru materi pertama semester pertama saja sudah cukup memaksa otakku
untuk mencerna angka-angka yang rumit. Aku heran ketika seisi kelas
menganggap mudah materi itu. Ya, semuanya tentang bentuk pangkat, akar,
dan logaritma. Padahal aku sudah memperhatikan pelajaran dengan cukup
baik, tetapi mengapa aku tetap belum bisa?
”Eh, Ran, tolong ajari aku,” pintaku.
”Boleh. Dengan senang hati,” jawabnya.
Aku telah menghabiskan dua jam lebih untuk menerima les matematika dari
temanku, Ranti. Tetapi, belum satu pun yang aku kuasai? Betapa kagetnya
aku, ketika guru matematika mengatakan bahwa minggu depan ulangan bab
pertama. Sungguh sebuah bencana untukku.
Hari ini aku
berencana mencari buku matematika yang lebih lengkap di perpustakaan
sekolah. Jam istirahat pertama, aku harus naik turun tangga dan berlari.
Mengingat perpustakaan letaknya jauh dari ruang kelasku. Berharap
setumpuk buku bisa membantuku. Aku tidak ingin nilai pertamaku buruk.
Ya, paling tidak nilai tujuh saja aku sudah puas.
”Cari buku apa?” tanyanya.
”Buku matematika. Minggu depan ulangan, kan?”
”Oh, itu. Lebih baik buku yang ini saja.” Dia memberikan buku yang aku cari.
”Rif, sudah paham bab pertama?” tanyaku.
”Sudah.
Bab pertama tidak begitu sulit,” jawabnya ringan. Huh! Dia
menganggapnya mudah? Mengerjakan satu soal saja aku harus jungkir balik.
Tetapi, dia menganggapnya mudah? Dunia sungguh tudak adil!
Enam
hari begitu cepat berlalu. Besok ulangan matematika. Kubuka buku dan
kukunci pintu kamarku. Berharap tidak ada yang mengganggu. Berjam-jam
aku membaca, mempelajari soal dan latihan, tak satu pun yang dapat aku
kerjakan. Mengapa otak ini begitu buntu. Apalagi mataku tidak bisa
diajak kompromi. Aku tertidur pulas.
Aku sangat kesal pagi ini.
Aku belum siap. Tetapi, mengeluh tidak ada gunanya. Sekaranglah waktunya
untuk berperang. ”Ya Tuhan, aku belum belajar. Berikanlah kemudahan
untukku.” Bel berbunyi. Bu Isti, guru matematika baru sampai di tangga.
Ada beberapa menit untuk mengulang pelajaran.
”Masukkan semua buku dan keluarkan selembar kertas,” kata Bu Isti.
Jantungku
berdebar tidak karuan. Semuanya gemetar. Ketika lembar soal dibagikan,
aku sangat takut. Entah apa yang harus kulakukan terhadap soal itu.
Mengerjakannya? Satu pun tak bisa. What the hell? Ini kiamat!
Aku sangat malu ketika nilaiku terburuk di kelas. Aku kaget ketika tahu Arif mendapat nilai tertinggi di kelas.
”Rif, ajari aku ya.”
”Iya,” jawabnya singkat. Rasanya senang sekali.
”Nanti sepulang sekolah, bisa?”
”Aduh, maaf. Kalau nanti tidak bisa. Nanti ada teater. Besok saja, ya.”
Aku hanya mengangguk kecil.
Hari
demi hari telah berlalu. Arif tetap setia mengajariku. Kadang aku
kasihan karena ia harus menghabiskan waktunya mengajariku. Apalagi tidak
cukup sekali aku dijelaskan. Tiga atau empat kali, aku baru mengerti.
Matematika
ternyata tidak begitu buruk jika kita bisa sedikit memahaminya. Itulah
yang kurasa saat ini. Setelah kuselidiki apa penyebabnya, aku menemukan
titik terang. Itu Arif! Aku harus berterimakasih padanya.
Aku
semakin dekat dengan Arif. Aku tidak mengerti apa yang aku rasakan saat
ini. Tidak seperti dulu. Jantungku selalu berdebar jika aku dekat Arif.
Kurasa aku mulai menyukainya. Menyukai karena kebaikannya, kesabarannya,
dan tentu saja kepandaiannya. Tetapi aku salah. Ini lebih mendebarkan
daripada mengerjakan soal matematika.
Aku tidak pernah merasa
sesenang ini. Bukan karena aku lebih paham matematika. Namun karena
Arif. Aku tidak mau mengatakan ini cinta, terlalu berlebihan jika aku
mengartikan perasaan suka ini adalah cinta. Tetapi, aku tidak bisa
menyangkalnya karena mungkin cinta yang sedang kurasakan saat ini. Jika
benar, ini cinta pertamaku. Aku pun tidak berharap balasan apapun dari
Arif. Aku cukup puas punya perasaan seperti ini. Aku tidak berharap
lebih.
Mulai pagi ini aku berangkat sekolah bersama Arif. Sederhana, tapi bagiku luar biasa. Aku mengawali hari ini dengan senyuman.
”Ada apa, kok senyum-senyum sendiri? Aneh.”
”Ranti, aku bahagia sekali hari ini,” jawabku.
”Jangan-jangan
kamu...” kalimat Ranti terputus mendengar bel sekolah berbunyi. Aku
tahu apa yang akan dikatakan Ranti. Karena ekspresinya seakan
menggodaku. Aku tahu! Perasaanku ini terbaca jelas olehnya. Ingin
rasanya aku berbagi cerita dengannya, tetapi aku malu.
”Dian, tadi
aku diberitahu Bu Isti. Katanya, lusa ada ulangan matematika. Mmm...
tentang persamaan dan pertidaksamaan kuadrat dan akar kuadrat. Kita
sudah mempelajarinya. Kamu siap?” Arif memberitahuku.
”Ulangan matematika? Siapa takut?” jawabku dengan penuh percaya diri.
Terimakasih Arif, karenamu aku memahami dua hal. Matematika dan cinta.
***