Bosan. Ia sudah bosan dengan segala kondisi yang mengitari detik demi detik bentangan jarak yang hadir antara dia dengan sosok wanita yang kini ada di sampingnya.
Jarak yang perlahan namun pasti mengikis asa, tetapi tidak pada asmara. Mungkin
semua asa kini sudah terbang bersama debu. Melaju bersama mobil yang ia
kendarai menuju jalan kecil di sudut
Kota Muntilan, ataukah hilang tanpa jejak? Ia juga masih belum tahu.
”Kau
benar-benar ingin bersamanya, Est?”
”Lepaskan
aku. Mungkin itu akan membuatmu lebih baik,” tergagap wanita itu menjawab
pertanyaan sang lelaki.
”Itu
sama sekali tidak menjawab pertanyaanku.”
Pembicaraan itu terhenti. Entah apa yang ada di pikiran sang wanita kini.
Ketakutan ataukah lebih kepada iba? Yang jelas rasa yang dulu pernah ada di
dalam dirinya untuk laki-laki itu kini sudah musnah.
”Kita
mau kemana?” tanya Ester.
”Kita
mau…”
Ucapannya
terhenti. Menimbang segala konsekuensi yang akan terjadi apabila ia benar-benar
melakukan hal nekad kepada mantan kekasihnya itu.
Jangan bunuh dia! Bukankah ia orang yang kau
cinta? Nuraninya berbicara.
Jangan! Bunuh dia! Naluri mengambil alih jiwanya. Untuk apa kau membiarkan wanita itu
hidup?
Hanya untuk menghabiskan separuh hidupmu dengan melihat dia bahagia
bersama orang lain? Dan kau? Kau hanya akan perlahan mati bersama rasa sakit yang
kau ciptakan sendiri.
Jangan bunuh dia! Mungkin kau akan bahagia jika
melihatnya bahagia meskipun itu bukan karenamu.
Nurani kini lebih kuat. Sesaat ia menghela napas. Dan
kini ia telah memutuskan.
”Aku
hanya ingin makan malam denganmu. Sekadar memberi ucapan selamat untuk rencana
pernikahanmu.”