Aku menatap sepatuku yang sekarang basah terkena percikan air hujan. Sial! Susah payah tadi pagi aku menyemirnya. Sekarang jadi lusuh begini. Kuraih sebuah tissue di saku kemejaku, dan berusaha mengeringkan sepatuku. Sedikit membantu.
”Hai,
Nay!”
Aku
mencari sumber suara, tak lagi memedulikan nasib sepatuku. Seorang gadis dengan
mantel bulu berwarna cokelat dan sepatu boots
berwarna senada melambaikan tangan ke arahku.
”Hai!” balasku. Aku
melambaikan tanganku seraya tersenyum.
Namanya Grita. Ia kini
mendekat dan berdiri di sebelahku. Berkali-kali ia lirik jam tangan yang
melingkar indah di pergelangan tangan kirinya.
”Kita hampir telat,”
katanya kemudian.
”Oh...,” jawabku
mengambang.
”Kok cuma ’oh’, sih?
Aku tidak sepertimu yang biasa telat,” ledeknya.
Aku hanya tersenyum
mendengarnya. Lima detik kemudian sebuah
kereta tampak dari kejauhan. Sambil melonjak kegirangan, Grita menatapku.
”Kita tidak jadi
telat!”
Kini Grita berjalan
menuju kereta dan menggandeng tanganku—lebih tepatnya setengah menyeretku. Ku
tepis tangannya dan berjalan kembali ke tempatku semula.
”Aku nanti saja, Grit.”
”Hei, mungkin ini
kereta terakhir sebelum bel masuk berbunyi, lho!” protesnya.
Aku menunduk lesu.
Mungkin Grita sudah mengerti maksudku, karena setelah itu ia masuk ke kereta
tanpa menghiraukanku lagi.
Kereta perlahan mulai
berjalan. Aku merelakan kereta terakhirku. Kulambaikan tangan padanya yang kini
ada di balik jendela dengan wajah protesnya, seolah tidak ingin aku lagi-lagi
terlambat.
”Ah, kenapa belum juga
datang?” gumamku. Entah kenapa, aku kini mulai mengkhawatirkan keterlambatanku
yang sudah kesekian kalinya. Tidak ada lagi anak berpakaian seragam menunggu di
stasiun. Cuma aku, dan sesosok pemuda yang duduk di belakangku.
Sambil merutuki nasibku
sendiri, aku duduk di kursi tempatku biasa menunggu. Siapa sih, orang bodoh
yang mau menunggu setiap hari di stasiun kereta lebih dari dua jam? Siapa sih,
orang bodoh yang rela terlambat sekolah dan dihukum membersihkan toilet? Ya,
itu semua aku. Jawabannya adalah aku!
Di tengah dinginnya
hujan, mataku kini tertuju pada seorang pemuda yang kini berlari ke arahku. Ia
menyunggingkan senyum di bibir tipisnya. Ke arahku pula! Tunggu sebentar,
dia...
Aku mengarahkan
telunjuk ke wajahku. Seperti ingin berkata, kau
tersenyum padaku?
Benarkah dia? Dia yang selama ini
telah... benarkah ia menyadari keberadaanku? Mataku kini membulat, dan kurasa
pipiku kini memerah. Saking kaget setengah tidak percaya, membalas senyumnya
pun rasanya sulit.
Aku bangkit berdiri. Seakan tak peduli percikan air hujan yang kini semakin deras dan membasahi rokku. Aku berdiri, seakan siap menyambutnya. Dan apa yang terjadi? Dia..., dia bukan tersenyum untukku. Lebih tepatnya, dia tidak menyadari keberadaanku. Dia berjalan melewatiku dan menghampiri seorang pemuda yang duduk di belakangku. Sambil menunduk malu, aku menoleh ke belakang.
Aku kini tak menghiraukan derasnya air hujan yang seakan menghantam apa pun yang ada di bawahnya, termasuk aku. Aku berjalan keluar stasiun. Aku tidak ingin naik kereta hari ini. Payung yang kukenakan pun tak cukup membantu, pipiku tetap basah. Ah, bukan saatnya menyalahkan payung karena airmataku sendiri.
Kereta kini berjalan pelan dan berhenti. Pemuda itu masuk bersama sahabatnya. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan.
”Kau Naya? Sekolah kita searah, kenapa kita tidak berangkat bersama?”
Ah, kalimat itu seakan kalimat yang paling ingin kudengar darinya. Dari pemuda itu. Dari Ichsan Arditia Putra, kakak Grita.
***
Ini pesenannya Ichsan Arditia Putra. Maaf kalo mengecewakan. Hehe.