Selasa, 17 April 2012

Kata Pengantar di Badan Email untuk Lomba

Reni Erina
 
Kepikiran untuk membahas ini setelah dua bulan belakangan sibuk menangani 4 event ajang lomba penulisan tingkat SMP, SMA dan kumcer Dua Sisi Susi....

Bahwa saat kita mengirimkan naskah ke panitia ajang lomba (apa pun itu), selayaknya kita menuliskan kata pengantar di badan email.
Ringkas, sopan dan jelas, tanpa berbelit-belit.

Bahwa bagaimana pun seperti halnya kita bertandang, kita wajib mengetuk pintu....  menyapa salam. Begitu juga saat kita mengirimkan email kepada panitia.  Lupakan bahwa dia adalah sahabat baik kita, pacar, tetangga, atau suami. Dengan kata lain, kita tdk mengenal mereka, selain saat itu sebagai PANITIA.
Pakailah bahasa yang resmi dan bena, tanpa menyebutkan nama.  Apalagi panitia cara biasanya terdiri dari beberapa orang....  jd jgn sebutkan nama, tp sebutkan saja : panitia acara.

Misal :
Kepada YTH
Panitia Lomba Penulisan Cerpen anu di Tempat.

Dengan ini saya sertakan cerpen saya yang berjudul.............     untuk dapat diikutsertakan dalam ajang lomba ini. Juga saya lengkapi dengan identitas diri dan .... bla.. bla.. bla...
......
....

(itu salah satu contoh saja)...
Bagaimana pun namanya aja lomba.... nggak cuma isi pokoknya aja yg dilirik, tp juga bagaimana performa (dalam hal ini penyampaian, email atau kata pengantar) bisa menambah nilai....

Selayaknya juga gak cuma dalam lomba aja, tetapi juga dalam pengiriman naskah2 lain yang terkait dengan pengiriman utk suatu lembaga/majalah atau event....

(Hindari kalimat : "Heii, riiinnn gue kirim cerpen neehh..., cepet  baca, GPL  dan muat ya... awas loh kalo nggak!"  sumpah ini isi badan email yg aku berharap tdk menemukannya lagi :)

Sumber: https://www.facebook.com/notes/story-teenlit-magazine-official-group/story-online-1-day-kata-pengantar-di-badan-email-untuk-lomba/202307769803834

Sabtu, 14 April 2012

Cinta Pertama di Akar Kuadrat--Story Teenlit Magazine edisi 27

Cinta Pertama di Akar Kuadrat
Suci Nurkhasanah

”Ya ampun, aku lupa!” Begitulah ekspresiku memulai pagi ini. Aku terperanjat ketika melihat teman-temanku berhamburan di kelas.

”PR massal!” teriak salah satu dari mereka.

Seketika, aku keluarkan buku tugasku. Secepat kilat aku menyontek pekerjaan teman. Huh, sial sekali aku pagi ini. Pagi-pagi seperti ini sudah mandi keringat. Begitulah suasana pagi hari yang mendebarkan di SMA Negeri 1 Muntilan.

Bermodalkan nilai yang pas-pasan, aku memberanikan diri mendaftar di SMA Negeri 1 Muntilan. Aku sangat senang ketika diterima di sekolah ini. Tetapi, setelah test menentukan kelas, aku masuk di kelas X-8. Artinya adalah sebuah kelas unggulan yang menggunakan dua bahasa dalam setiap pelajarannya, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Aku menganggap ini sebuah kesialan. Bukan keberuntungan. Karena aku harus belajar ekstra keras untuk tidak menjadi yang terburuk.

Matematika adalah pelajaran yang aku benci. Kuakui, aku tidak begitu lincah dalam bermain angka. Baru materi pertama semester pertama saja sudah cukup memaksa otakku untuk mencerna angka-angka yang rumit. Aku heran ketika seisi kelas menganggap mudah materi itu. Ya, semuanya tentang bentuk pangkat, akar, dan logaritma. Padahal aku sudah memperhatikan pelajaran dengan cukup baik, tetapi mengapa aku tetap belum bisa?

”Eh, Ran, tolong ajari aku,” pintaku.

”Boleh. Dengan senang hati,” jawabnya.

Aku telah menghabiskan dua jam lebih untuk menerima les matematika dari temanku, Ranti. Tetapi, belum satu pun yang aku kuasai? Betapa kagetnya aku, ketika guru matematika mengatakan bahwa minggu depan ulangan bab pertama. Sungguh sebuah bencana untukku.

Hari ini aku berencana mencari buku matematika yang lebih lengkap di perpustakaan sekolah. Jam istirahat pertama, aku harus naik turun tangga dan berlari. Mengingat perpustakaan letaknya jauh dari ruang kelasku. Berharap setumpuk buku bisa membantuku. Aku tidak ingin nilai pertamaku buruk. Ya, paling tidak nilai tujuh saja aku sudah puas.

”Cari buku apa?” tanyanya.

”Buku matematika. Minggu depan ulangan, kan?”

”Oh, itu. Lebih baik buku yang ini saja.” Dia memberikan buku yang aku cari.

”Rif, sudah paham bab pertama?” tanyaku.

”Sudah. Bab pertama tidak begitu sulit,” jawabnya ringan. Huh! Dia menganggapnya mudah? Mengerjakan satu soal saja aku harus jungkir balik. Tetapi, dia menganggapnya mudah? Dunia sungguh tudak adil!

Enam hari begitu cepat berlalu. Besok ulangan matematika. Kubuka buku dan kukunci pintu kamarku. Berharap tidak ada yang mengganggu. Berjam-jam aku membaca, mempelajari soal dan latihan, tak satu pun yang dapat aku kerjakan. Mengapa otak ini begitu buntu. Apalagi mataku tidak bisa diajak kompromi. Aku tertidur pulas.

Aku sangat kesal pagi ini. Aku belum siap. Tetapi, mengeluh tidak ada gunanya. Sekaranglah waktunya untuk berperang. ”Ya Tuhan, aku belum belajar. Berikanlah kemudahan untukku.” Bel berbunyi. Bu Isti, guru matematika baru sampai di tangga. Ada beberapa menit untuk mengulang pelajaran.

”Masukkan semua buku dan keluarkan selembar kertas,” kata Bu Isti.

Jantungku berdebar tidak karuan. Semuanya gemetar. Ketika lembar soal dibagikan, aku sangat takut. Entah apa yang harus kulakukan terhadap soal itu. Mengerjakannya? Satu pun tak bisa. What the hell? Ini kiamat!

Aku sangat malu ketika nilaiku terburuk di kelas. Aku kaget ketika tahu Arif mendapat nilai tertinggi di kelas.

”Rif, ajari aku ya.”

”Iya,” jawabnya singkat. Rasanya senang sekali.

”Nanti sepulang sekolah, bisa?”

”Aduh, maaf. Kalau nanti tidak bisa. Nanti ada teater. Besok saja, ya.”

Aku hanya mengangguk kecil.

Hari demi hari telah berlalu. Arif tetap setia mengajariku. Kadang aku kasihan karena ia harus menghabiskan waktunya mengajariku. Apalagi tidak cukup sekali aku dijelaskan. Tiga atau empat kali, aku baru mengerti.

Matematika ternyata tidak begitu buruk jika kita bisa sedikit memahaminya. Itulah yang kurasa saat ini. Setelah kuselidiki apa penyebabnya, aku menemukan titik terang. Itu Arif! Aku harus berterimakasih padanya.

Aku semakin dekat dengan Arif. Aku tidak mengerti apa yang aku rasakan saat ini. Tidak seperti dulu. Jantungku selalu berdebar jika aku dekat Arif. Kurasa aku mulai menyukainya. Menyukai karena kebaikannya, kesabarannya, dan tentu saja kepandaiannya. Tetapi aku salah. Ini lebih mendebarkan daripada mengerjakan soal matematika.

Aku tidak pernah merasa sesenang ini. Bukan karena aku lebih paham matematika. Namun karena Arif. Aku tidak mau mengatakan ini cinta, terlalu berlebihan jika aku mengartikan perasaan suka ini adalah cinta. Tetapi, aku tidak bisa menyangkalnya karena mungkin cinta yang sedang kurasakan saat ini. Jika benar, ini cinta pertamaku. Aku pun tidak berharap balasan apapun dari Arif. Aku cukup puas punya perasaan seperti ini. Aku tidak berharap lebih.

Mulai pagi ini aku berangkat sekolah bersama Arif. Sederhana, tapi bagiku luar biasa. Aku mengawali hari ini dengan senyuman.

”Ada apa, kok senyum-senyum sendiri? Aneh.”

”Ranti, aku bahagia sekali hari ini,” jawabku.

”Jangan-jangan kamu...” kalimat Ranti terputus mendengar bel sekolah berbunyi. Aku tahu apa yang akan dikatakan Ranti. Karena ekspresinya seakan menggodaku. Aku tahu! Perasaanku ini terbaca jelas olehnya. Ingin rasanya aku berbagi cerita dengannya, tetapi aku malu.

”Dian, tadi aku diberitahu Bu Isti. Katanya, lusa ada ulangan matematika. Mmm... tentang persamaan dan pertidaksamaan kuadrat dan akar kuadrat. Kita sudah mempelajarinya. Kamu siap?” Arif memberitahuku.

”Ulangan matematika? Siapa takut?” jawabku dengan penuh percaya diri.

Terimakasih Arif, karenamu aku memahami dua hal. Matematika dan cinta.

***