Malam galauers… *dari salamnya,
bau-baunya mau curhat nih anak -,-
Pernah jatuh cinta? Kalo gitu, pasti
pernah dong cemburu? Aku pernah.
Iyess, sekarang ingin membahas topik
mainstream itu. Sebelumnya aku peringatkan. Tulisan ini isinya galau,
cengeng, dan menye-menye. Buat yang kurang suka sama yang seperti ini, mending stop
di sini. Oke?
Sebelumnya, aku menganggap blog ini
sebagai tempat buat sharing pengalaman. Yahh, siapa tau berguna buat
orang lain. Kalo tidak berguna, ya seenggaknya berguna buat diriku sendiri.
Biar aku bisa berekspresi, gitu. Tapi semakin ke sini, aku semakin sadar kalo
tulisanku belakangan ini banyak galaunya. Meskipun kadang-kadang bukan itu yang
aku rasain. Hmm, tapi malam ini beneran, aku lagi butuh tempat curhat. Dan
rasanya ingin frontal. Kenapa aku ingin frontal di sini? Jawabannya adalah
tidak ada yang membaca blog ini, dan jikapun ada pasti orang itu tidak
mengenaliku. Hehe. Awalnya sih mau sms teman saja, tetapi karena ini udah
terlalu malam, jadi tidak enak buat sms. Apalagi kalo topik yang dibahas tidak
penting. Nah, karena ketidakpentingan itu sekali lagi aku peringatkan. Tulisan
ini tidak akan berguna bagi pembaca, jadi buat yang kurang suka lebih baik stop
di sini. :-)
Aku merindukannya. Cukup dua kata
itu yang membuatku susah tidur.
Sejak kapan, Cik? Sejak tujuh bulan
yang lalu. Sejak tak kulihat lagi warna bajunya. Aku berusaha mengalihkan semua
rindu itu. Berhasil. Jelas, karena sejak tujuh bulan yang lalu aku sudah masuk
semester dua. Gak ada waktu buat mikirin
hal yang gak berguna, karena ini adalah semester terakhir. Seenggaknya kata
itulah yang dari awal masuk semester kedua berusaha aku tanamkan dalam pikiran.
Aku harus lulus, yahh cumlaude—cita-citaku.
Berat. Banget. Setiap malam, aku mulai mengalihkan semua itu dengan
kesibukanku. Aku cuma bisa berpikir: Pikirin
aja dia ngasih semangat ke kamu pas kamu belajar. Dan, syukurnya hal itu
selalu berhasil. Meskipun terkadang saat memang tak ada kesibukan, otakku ini
layaknya ter-setting buat memikirkan dia. Tapi bukan masalah, karena aku cukup
bisa mengendalikannya.
Aku merindukannya.
Siapa yang kamu maksud, Cik?
Dia adalah orang kedua dalam
hidupku. Orang yang bisa membuatku melupakan cinta pertamaku. Orang yang
memberikan serentetan kenangan sejak dua tahun yang lalu. Orang yang awalnya
kuanggap kakak, tapi ternyata aku salah. Rasa ini lebih daripada itu, hanya aku
yang terlambat menyadari. Sayangnya, tidak dengan dia. Dia sejak awal sudah
menyadari perasaanku padanya. Dan bisa ditebak. Aku hanya bisa menerima kata
maaf darinya.
Aku merindukannya.
Apa yang membuatmu rindu padanya?
Hanya satu: kebaikannya. Dia sangat
baik. Setauku, dia sangat menghargai wanita, lebih dari lelaki lain yang selama
ini kukenal. Dia melindungi wanita, dan tidak ingin membuat hati wanita
terluka. Mungkin itulah yang membuat banyak wanita jatuh hati padanya. Aku tak
heran, dengan daya tarik fisik maupun sikapnya. Justru akan aneh jika dia tidak
didekati wanita.
Apakah kamu cemburu, Cik?
Tidak. Tepatnya pada awalnya aku
tidak cemburu. Aku sadar, aku bukan siapa-siapa dan tidak akan pernah menjadi
siapa-siapa. Tidak ada sesenti pun tempat untukku di dalam hatinya, aku tau
itu. Bagaimana tidak? Dia yang dari mataku terlihat nyaris sempurna, hanya
pantas dengan wanita yang nyaris sempurna pula. Wanita yang cantik, anggun,
cerdas dan berwawasan luas, lembut, halus tutur katanya, pandai memasak, dan
keterampilan-keterampilan lain yang menggambarkan bahwa wanita tersebut nyaris
sempurna pula. Beberapa kali aku mematut-matut diriku, ahh Cik bahkan satu dari
seabrek kriteria nyaris sempurna itu tak ada satupun yang melekat di dirimu.
Aku bisa apa? Ketika aku mengatakan ini pada salah seorang temanku, dia hanya
menyemangatiku seperti ini, ”Kalo memang beneran suka, gak bakal ngeliat
kriteria-kriteria itu kok.” Aku tersenyum mendengarnya. Terima kasih. Tetapi
motivasi itu malah membuatku semakin sadar. Sejak awal aku sudah tau dia tidak
menyukaiku. Jadi bukankah tidak ada bedanya antara nyaris sempurna dengan
disukainya?
Lho, tapi tadi di awal paragraf kamu berkata kamu pernah
cemburu. Terus kamu cemburu sama siapa?
Yahh, aku sudah bilang pada awalnya
memang aku tak cemburu. Tetapi belakangan ini aku baru sadar. Aku cemburu. Pada
orang lain yang berhasil merebut perhatiannya dalam waktu yang singkat. Selama
kurang dari tiga minggu lebih tepatnya. Aku selalu berbohong pada diriku
sendiri. Aku munafik dan selalu berusaha terlihat baik. Toh aku berpikir, untuk
apa aku cemburu dengan orang yang bahkan tidak dianggap apa-apa olehnya?
Menghabiskan waktu bukan? Sampai akhirnya beberapa minggu yang lalu sebuah
kejadian membuatku syok dan seperti memperingatkanku bahwa aku benar-benar
cemburu.
Maukah kamu cerita di sini?
Baik. Aku berkenalan dengan wanita
itu. Wanita yang membuatku cemburu. Bagaimana mungkin? Seseorang yang telah
membuatku sakit itu ingin bersahabat denganku. Aku tak bisa menolak dan memang
akan sangat bodoh jika aku menolaknya. Mengapa demikian? Karena sebuh alasan
yang cukup logis: bukankah jika aku dekat dengannya, aku bisa tau tentang orang
yang kusukai tersebut? Aku benar, seratus persen. Cuma hitungan hari, aku sudah
akrab dengannya. Dia banyak curhat kepadaku, dan aku banyak tau tentang
dirinya. Dan aku sadar perlahan, ketika dia bercerita kedekatannya dengan orang
yang kusuka, ada rasa benci di dalam hati. Aku selalu merasa, seharusnya akulah
yang dekat dengan orang yang kusukai itu. Ya, aku egois. Aku akui itu. Semakin
hari aku semakin akrab dengannya. Hingga akhirnya suatu ketika, aku merasa ada
yang salah dengan rasa benci di hatiku ini. Aku tidak nyaman dengan perasaanku.
Aku selalu berpura-pura menjadi sahabat yang baik yang selalu mendengar keluh
kesahnya. Aku sadar, aku cemburu. Aku sadar, ketika aku memberinya semangat,
seharusnya aku menyemangati diriku sendiri dan bukan dia. Aku sadar aku muak
dengan semua ceritanya. Aku sadar aku mau mengangis membaca semua curhatannya.
Aku sadar setiap kali aku ingin menangis, aku tahan. Dari sederet kata aku
sadar-aku sadar yang lain, yang paling membuatku terhenyak adalah ini: aku
sadar aku munafik!
Wanita itu tidak tau. Dia tidak tau
jika aku menyukai orang yang baru-baru ini dia sukai. Berulang kali aku
berpikir dia tidak pantas memiliki rasa itu. Dia tidak pantas cengeng dengan
selalu berkata padaku bahwa dia rindu. Sungguh demi apapun dia tidak pantas.
Dia tidak tau betapa aku menyukai orang itu dua tahun belakangan ini, dan tidak
hanya seperti dia yang baru tiga minggu mengenal orang itu. Dia tidak pantas
mengatakan rindu jika baru beberapa minggu tak bertemu. Sementara aku? Sudah
tujuh bulan dan tak pernah satu kali pun kata rindu keluar dari mulutku. Sekali
lagi, dia tidak pantas cengeng. Rasanya aku ingin mengatakan ini setiap kali
aku melihatnya cengeng: Jika kamu berpikir bahwa kamu adalah orang
paling menderita sedunia, maka pada saat itu kamu adalah orang yang tidak
pandai bersyukur.
Aku mencoba menenangkan diriku.
Kata-kata itu juga harusnya aku pakai untuk menasehati diriku sendiri. Aku
bilang pada diriku bahwa aku tidak berhak mengendalikan perasaan orang lain.
Pedih sekali ketika perlahan aku harus menerima bahwa kita berhak menyukai
orang yang sama dan berhak pula merindukan orang yang sama.
Sudah cukup, aku tak ingin ada
tangis di sini.
Jangan kepada orang yang aku sukai! Tuhan, jangan dia!