Aku
menarik napas saat seorang pria memarkir motornya di depan restoran yang sudah
lebih dari satu kali aku datangi ini. Jantungku berdegup cepat. Seketika aku
mengalihkan pandangan ke arah yang berlawanan. Gaun lilac yang aku kenakan menyambar kaki meja. Dia alasanku
menghabiskan waktu satu setengah jam di depan cermin. Kuharap pipiku tak
terlampau merah setelah ditambah ekspresi malu karena bertemu dengannya.
”Apa
kabar?” tanyanya kaku setelah menghampiri mejaku.
”Baik.
Kamu sendiri bagaimana?” jawabku setenang mungkin. Lama tak bertatap muka
dengannya, membuatku bingung menata ucapanku.
Kami
bicara banyak hal. Sesekali dia berceloteh tentang kesibukannya kantor. Dia
juga bercerita tentang kegiatannya tiga tahun belakangan ini. Tiga tahun tanpa
aku, katanya. Cara bicara dan cara ia memandangku masih seperti dulu. Tapi aku yakin
bukan untuk ini dia sedikit memaksa untuk bertemu denganku malam ini. Ya,
sedikit memaksa. Jika dia tidak berkata ini mungkin akan jadi pertemuan
terakhirku dengannya, aku tak akan mau bertemu dengannya.
”Kamu
tampak berbeda malam ini. Sudah adakah pria beruntung di sana?” tanyanya
kemudian.
Aku
tersenyum geli. Sekali kutatap matanya. Dia tak bercanda.
Dia
mengaitkan jaket yang dia kenakan hingga tak ada lagi ruang antara tubuhnya
dengan udara di ruangan ini.
”Kamu
kedinginan?” tanyaku setelah melihat tingkahnya.
”Kalau
iya, apakah kamu akan memelukku?” jawabnya sembari tertawa.
”Kamu
nggak berubah. Pasti semakin banyak gadis yang tergila-gila padamu,” timpalku. Tentu
saja aku tak akan melakukannya. Terlebih sekarang aku sudah bukan miliknya.
”Jadi, alasanmu memintaku datang malam
ini adalah untuk menanyakan itu?” tanyaku kembali ke topik.
Semenit berlalu dalam hening. Aku tak
berniat mengulang pertanyaanku tadi. Aku bahkan juga tak berniat mendengar
jawabannya.
”Aku
ingin minta maaf, Nay. Itu alasanku mengajakmu bertemu.”
”Aku
sudah melupakannya,” jawabku singkat.
Tentu
saja aku berbohong. Aku tak akan pernah lupa saat aku harus menghabiskan waktu sampai
hari untuk mengubah semua aspek dalam diriku. Aku tak sepenuhnya melakukan itu
untuknya. Awalnya memang aku hanya tak ingin terus menjadi ulat yang menjijikkan
baginya. Tapi akhirnya aku sadar satu hal setelah dia pergi. Ada hidup yang
harus aku tata. Dengan atau tanpanya, aku berhak menjadi orang yang lebih baik
lagi.
”Makasih Nay. Aku sangat menyesal pernah
melewatkanmu. Bisakah kita…?” tanyanya sembari meraih tanganku. Ucapannya terhenti
setelah dia menyadari ada sebuah cincin di jariku.
”Maafkan aku.” Aku menarik tanganku
kemudian.
”Kapan?” tanyanya kemudian.
”Bulan depan,” jawabku singkat.
”Semoga kamu bahagia.”
”Tentu saja,” jawabku sumringah.
Semua mendadak beku, seperti
terhenti. Aku tak mendengar sepatah kata pun darinya, namun aku tahu matanya menyiratkan
hal yang sebenarnya dia sembunyikan dibalik bungkam. Menyesalkah kamu? Semoga aku
tidak.
Kuharap
aku benar-benar tampak bahagia malam ini, layaknya gadis yang akan dipinang sebulan
lagi. Iya, dia melewatkan satu hal. Ini bukan tentang pernikahanku. Ini tentang
sesuatu yang telah pergi akan pernah kembali. Kakakku lah yang menikah bulan
depan. Dan cincin yang aku pakai bukanlah cincin pertunangan atau semacamnya. Aku
hanya tak sengaja memakainya, dan syukurlah jika dia menganggap aku akan
menikah.
Sekarang
aku tahu, cinta bukan tentang memaafkan, bukan pula hanya tentang aku masih
menyayanginya dan tak bisa melupakannya sampai detik ini. Cinta adalah harga
diri, logika yang nyata. Semua orang bisa berubah. Sudahkah kau lihat aku
sebagai kupu-kupu yang cantik sekarang?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar