Minggu, 27 Desember 2015

Aku Tak Menyesal

Aku menarik napas saat seorang pria memarkir motornya di depan restoran yang sudah lebih dari satu kali aku datangi ini. Jantungku berdegup cepat. Seketika aku mengalihkan pandangan ke arah yang berlawanan. Gaun lilac yang aku kenakan menyambar kaki meja. Dia alasanku menghabiskan waktu satu setengah jam di depan cermin. Kuharap pipiku tak terlampau merah setelah ditambah ekspresi malu karena bertemu dengannya.
”Apa kabar?” tanyanya kaku setelah menghampiri mejaku.
”Baik. Kamu sendiri bagaimana?” jawabku setenang mungkin. Lama tak bertatap muka dengannya, membuatku bingung menata ucapanku.
Kami bicara banyak hal. Sesekali dia berceloteh tentang kesibukannya kantor. Dia juga bercerita tentang kegiatannya tiga tahun belakangan ini. Tiga tahun tanpa aku, katanya. Cara bicara dan cara ia memandangku masih seperti dulu. Tapi aku yakin bukan untuk ini dia sedikit memaksa untuk bertemu denganku malam ini. Ya, sedikit memaksa. Jika dia tidak berkata ini mungkin akan jadi pertemuan terakhirku dengannya, aku tak akan mau bertemu dengannya.
”Kamu tampak berbeda malam ini. Sudah adakah pria beruntung di sana?” tanyanya kemudian.
Aku tersenyum geli. Sekali kutatap matanya. Dia tak bercanda.
Dia mengaitkan jaket yang dia kenakan hingga tak ada lagi ruang antara tubuhnya dengan udara di ruangan ini.   
”Kamu kedinginan?” tanyaku setelah melihat tingkahnya.
”Kalau iya, apakah kamu akan memelukku?” jawabnya sembari tertawa.
”Kamu nggak berubah. Pasti semakin banyak gadis yang tergila-gila padamu,” timpalku. Tentu saja aku tak akan melakukannya. Terlebih sekarang aku sudah bukan miliknya.
”Jadi, alasanmu memintaku datang malam ini adalah untuk menanyakan itu?” tanyaku kembali ke topik.
            Semenit berlalu dalam hening. Aku tak berniat mengulang pertanyaanku tadi. Aku bahkan juga tak berniat mendengar jawabannya.
”Aku ingin minta maaf, Nay. Itu alasanku mengajakmu bertemu.”
”Aku sudah melupakannya,” jawabku singkat.
Tentu saja aku berbohong. Aku tak akan pernah lupa saat aku harus menghabiskan waktu sampai hari untuk mengubah semua aspek dalam diriku. Aku tak sepenuhnya melakukan itu untuknya. Awalnya memang aku hanya tak ingin terus menjadi ulat yang menjijikkan baginya. Tapi akhirnya aku sadar satu hal setelah dia pergi. Ada hidup yang harus aku tata. Dengan atau tanpanya, aku berhak menjadi orang yang lebih baik lagi.
”Makasih Nay. Aku sangat menyesal pernah melewatkanmu. Bisakah kita…?” tanyanya sembari meraih tanganku. Ucapannya terhenti setelah dia menyadari ada sebuah cincin di jariku.
            ”Maafkan aku.” Aku menarik tanganku kemudian.
            ”Kapan?” tanyanya kemudian.
            ”Bulan depan,” jawabku singkat.
            ”Semoga kamu bahagia.”
            ”Tentu saja,” jawabku sumringah.
            Semua mendadak beku, seperti terhenti. Aku tak mendengar sepatah kata pun darinya, namun aku tahu matanya menyiratkan hal yang sebenarnya dia sembunyikan dibalik bungkam. Menyesalkah kamu? Semoga aku tidak.
Kuharap aku benar-benar tampak bahagia malam ini, layaknya gadis yang akan dipinang sebulan lagi. Iya, dia melewatkan satu hal. Ini bukan tentang pernikahanku. Ini tentang sesuatu yang telah pergi akan pernah kembali. Kakakku lah yang menikah bulan depan. Dan cincin yang aku pakai bukanlah cincin pertunangan atau semacamnya. Aku hanya tak sengaja memakainya, dan syukurlah jika dia menganggap aku akan menikah.
Sekarang aku tahu, cinta bukan tentang memaafkan, bukan pula hanya tentang aku masih menyayanginya dan tak bisa melupakannya sampai detik ini. Cinta adalah harga diri, logika yang nyata. Semua orang bisa berubah. Sudahkah kau lihat aku sebagai kupu-kupu yang cantik sekarang?

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar