Jumat, 13 Desember 2013

Capacity Building BDK Yogyakarta 2013

Terbangun di tengah malam dan melihat sekitar...

Apa kejadian kemarin tuh cuma mimpi ya?
Perjalanan jauh, begitu sampe markas suruh jalan jongkok, merayap, dan berguling. Perut serasa dikocok.

Mainan kompas bersama teman satu kelompok dan ternyata kelompokku dinyatakan hilang. Parah, dihukum push up 5000 kali! Inget bener deh, kayak apa ngejalaninnya. *prakteknya sih cuma 100 kali pun yang cewek gak bener-bener nglakuin itu. 

Penderitaan belum berakhir. Masih ada kegiatan lagi, main tali dan halang rintang. Di sini jadi kerasa bener kekompakannya Oh, satu lagi yang bikin berkesan. Ngerasain 'terbang' untuk yang pertama kali. Yah, sekujur tubuh gemeteran.

Dibangunin malem-malem buat jerit malam. Gara-gara banyak yang gak lewat kuburan, jadi semua kena hukuman. (serius, sampe sekarang masih kerasa pegelnya kayak apa --")

Hingga akhirnya tiba waktu mengakhiri segalanya. Kok rasanya gini? Jadi sedih banget dan gak ingin berpisah dengan yang lain. Gak mau juga berpisah ama Pelatih yang cetar. Tapi... gak mau juga kalau harus lebih lama lagi merasakan 'penderitaan'.

Hm, mungkin hari ini udah gak tidur di tenda sama temen-temen, udah gak antre kamar mandi, udah gak makan bareng di bawah matahari, udah gak ada yang namanya baris, udah gak ada yang namanya hukuman, teriakan, dan bentakan.

Meskipun menyisakan tubuh yang terasa remuk dan muka yang gak standar tapi semua terbayar sudah. Empat hari bersama kalian, gak mungkin aku lupain, guys. Mungkin bisa deh kapan-kapan tamasya lagi. Tapi gak pake panas-panasan lho ya. 

*Capacity Building BDK Yogyakarta 2013 :')

Kamis, 24 Oktober 2013

Aku dan Rasa

Pada rasa yang selama ini menggelayuti pikiranku, kukatakan ini padanya: "Pergilah! Aku tak butuh kau. Kau hanya milik mereka yang beruntung. Dan kau tau? Orang itu bukanlah aku."

Namun rasa itu tetap di tempatnya. Tak sedikit pun ia beranjak meninggalkanku. Kali ini aku berteriak padanya, "Enyahlah! Sudah kubilang, orang itu bukanlah aku!"

Rasa itu tetap di tempatnya. Kali ini ia membeku. Seketika sunyi. #gaje

Senin, 09 September 2013

Orang Dewasa itu...

Ceritanya lagi gila bareng Wulan nih. Karena kami bosan dipanggil anak kecil terus, maka kami mencari cara biar gak dikatain anak kecil lagi. Kami mengamati sekitar dan mengidentifikasi ciri-ciri orang dewasa:

1. Modis
Mulai dari ujung kaki. Mereka gak pake sepatu kayak yang kami pake (baca: sepatu anak SD). Ya, pake higheels. Oh men, pake wedges pun kami sulit! Ckck...

Kemudian pakaian. Kami bandingin pakaian mereka dan pakaian kami. Jauh beda. Gak tau kenapa, mereka itu keliatan anggun, gak kayak kami. Terakhir, kerudung. Orang dewasa itu cara pake kerudungnya gak kayak kami. Mereka juga gak pake bros flanel (apalagi yang bentuknya klepon ).

2. Cantik(?)
Kebanyakan, orang dewasa itu pake bedak, lipstik, dan alat-alat make up lainnya. Udah keliatan deh muka-muka cari jodoh. Wkwk...

3. Tingkah lakunya beda
Mereka itu gak kebanyakan pringas-pringis kayak kami. Bicara seperlunya dan bersikap serius. Suaranya juga gak cempreng kayak kami. Mereka juga gak bingungan dan gak gampang nyasar. Gak kayak kami, pastinya.

4. Cara jalan, duduk, dan berdiri
Mereka tuh jalannya anggun dan pelan-pelan. Gak kayak kami yang katanya kalo jalan udah kayak kereta. Wkwk...

5. Terakhir: mereka tuh wangi. Selain karena pake parfum, mungkin juga karena mereka gak kebanyakan gerak dan gak kebanyakan tingkah. Jadi gak keringetan deh. Hehe.
Setelah mengidentifikasi orang dewasa, maka kami berkesimpulan kalo jadi orang dewasa itu sulit, dan banyak hal yang perlu diubah. Dan kami memutuskan untuk tetap menjadi anak kecil untuk beberapa waktu ke depan.

Senin, 05 Agustus 2013

Buletin Perdu Edisi #10

Hai hai... ^_^
Jadi ceritanya nih bulan ini Mbak Dien, yang biasa me-layout Buletin Perdu sibuk banget. Dan eng ing eng... Aku ambil inisiatif buat mencoba me-layout. Jadi berwarna dan feminim gini sih. Wkwk, tapi gak papa deh. Dan sayang banget edisi kali ini cuma terbit versi online.
Oke, ini dia penampakannya...
Buletin Perdu #10 halaman 1: Salam Perdu dan Perdu Diary-nya bikinanku lho... :p
Buletin Perdu #10 halaman 2: Flash Fiction ini karya Mbak Nailil Maghfiroh
Buletin Perdu #10 halaman 3: Ada Puisi karya Mbak Nurro Tha, Mas Ahmad Pujianto, dan Mbak Syafira A. D
Buletin Perdu #10 halaman 4: Puisi ini karya Bu Istikomah
Oke teman-teman dan Perduers, nantikan Buletin Perdu edisi berikutnya yah... Hehe, tetap semangat berkarya! :D

Senin, 29 Juli 2013

Lomba Menulis Cerpen “Mari Berbagi Mari Menginspirasi"

Lomba Menulis Cerpen “Mari Berbagi Mari Menginspirasi"
Lomba Menulis Cerpen “Mari Berbagi Mari Menginspirasi"
24 Juli 2013 pukul 23:50
Lomba Menulis Cerpen “Mari Berbagi Mari Menginspirasi" (DL: 21 Agustus 2013)
24 July 2013 at 09:48
Komunitas Perdu bersama dengan Tim Jurnalistik SMA Negeri 1 Muntilan
mengadakan lomba cerpen "Mari Berbagi Mari Menginspirasi"

Setiap orang menjalani garis hidupnya masing-masing, sehingga dalam proses itulah kita menemukan ilmu dan pengalaman yang berbeda-beda. Agar menjadi insan yang bijaksana, kita perlu belajar dari pengalaman orang lain. Saling berbagi dan saling menginspirasi merupakan langkah yang tepat untuk mencapai kebijaksanaan hidup yang sempurna.

Berbagi inspirasi tidak harus masuk tivi, atau ceramah di mimbar-mimbar, dsb tetapi bisa dengan menulis yang inspiratif.  Itu hal termudah yang setiap orang bisa lakukan. Jadi, tunggu apa lagi? Ayo tuliskan pengalamanmu menjadi cerpen yang inspiratif! Ikuti Lomba Menulis Cerpen ini! Raih hadiahnya! Dan pastikan karyamu masuk dua puluh lima karya cerpen terbaik yang akan dibukukan ...!
Untukmu seluruh siswa-siswi SMA/SMK/MA se-Kabupaten dan Kota Magelang, maupun yang berdomisili di Kabupaten atau Kota Magelang diadakan lomba menulis cerpen yang akan diselenggarakan pada 21 Juli 2013
Adapun syarat dan ketenntuan pengiriman naskah cerpen sebagai berikut:

Tema lomba: Dunia remaja yang inspiratif

Setting cerita sekitar Kabupaten-kota Magelang

Peserta lomba adalah siswa-siswi SMA/AMK/MA se-kabupaten dan Kota Magelang, dibuktikan dengan scan kartu pelajar yang masih aktif, disertakan saat pengiriman naskah.

Jumlah halaman cerpen antara 4-8 halaman

Ukuran kertas A4/Quarto, font Times New Roman, size 12, spasi 1,5, margin top 3, left 3, bottom 3, right 3.
Disertakan data pribadi yang meliputi nama lengkap, asal sekolah, TL, alamat rumah, nomor yang bisa dihubungi  dibawah naskah cerpen.

Disertakan soft foto size maksimal 100 Kb.
Dikirim via e-mail ke alamat perdu_komunitas@yahoo.com dalam bentuk attachment, berupa naskah cerpen, scan kartu pelajar, dan soft foto.

Setiap peserta hanya boleh mengirimkan 2 cerpen terbaiknya.

Cerpen belum pernah diikutkan pada lomba cerpen/tidak pernah diterbitkan di media cetak maupun online.
Kesesuaian naskah dengan tema lomba, tidak mengandung asusila, pornografi, serta tidak mengandung SARA.
Syarat penulisan  dan kelengkapan naskah menjadi factor penentu lolos tidaknya naskah cerpen seleksi pertama untuk dinilai oleh dewan juri.

Like fanpage Komuniatas Perdu di FAcebook dengan alamat http://facebook.com/komunitasperdu , follow twitter Komunitas Perdu @KomunitasPerdu

Deadline pengiriman naskah tanggal 21 Agustus 2013.

25 karya terbaik akan dibukukan

Pengumuman pemenang lomba pada tanggal 27 Oktober 2013

Event lomba ini GRATISSS!!!

Pemenang lomba:
Juara 1 : uang pembinaan senilai Rp 300.000,00 + sertifikat + 1 buku antologi 25 karya cerpen terbaik.
Juara 2 : uang pembinaan senilai Rp 200.000,00 + sertifikat + 1 buku antologi 25 karya cerpen terbaik.
Juara 3 : uang pembinaan sen
ilai Rp 100.000,00 + sertifikat + 1 buku antologi 25 karya cerpen terbaik.

Jika ada pertanyaan silakan menghubungi:         

Puji    (087839296642)
Jilli   (081901094798)

(Bagikan informasi penting ini kepada teman-teman yang lain ya... Sehingga, semakin banyak inspirasi di dunia ini.)
Sumber : www.
perdumenulis.blogspot.com

Lomba Menulis Cerpen "Mari Berbagi, Mari Menginspirasi" Komunitas Perdu dan Tim Jurnalistik SMA N ! Muntilan

Jumat, 24 Mei 2013

Move On, Kawan! - Buletin Perdu #7

”Kau itu memang anak yang gagal move on. Sehari maju, sehari mundur lagi.” 

”Tapi dia….”

Kali ini Nurima menatapku tajam. Baru kali ini aku melihatnya menatapku seperti itu. Aku sampai tak berani meneruskan ucapanku.

”Sadarlah! Banyak hal lain yang lebih layak kau pikirkan. Berapa nilai matematikamu kemarin? Sudah delapan? Atau sembilan?”

Aku menunduk lesu sekaligus geram. Rasanya seperti ditampar. Tidak bisakah ia mengecilkan suaranya? Aku memang meminta nasehatnya, tetapi tidak bisakah ia lebih halus? Aku lalu menghitung dengan jari, berapa kali aku mendapat delapan? Oh, tidak! Sebaiknya aku hitung saja berapa kali aku mendapat enam.

Aku menggeleng pelan.

”Suci, mengapa pucat seperti itu? Kata-kataku terlalu kasar, ya? Maaf, aku tidak bermaksud untuk….”

”Kau benar, Nurima. Seharusnya aku melupakannya,” ucapku pelan.

Aku kembali mengingat deretan kejadian mengerikan saat aku bersamanya. Ya, dia lelaki pertama yang telah membuatku berdebar setiap kali melihatnya. Mengerikan? Bukan perasaanku yang mengerikan, tetapi sikapnya padaku. Sudahlah, tidak perlu diingat lagi.

”Apa aku harus mendapat nilai delapan?” tanyaku datar pada Nurima yang kini menatapku dengan penuh rasa bersalah.

”Mungkin itu namanya memantaskan diri untuk orang yang kau cintai.” 

”Nurimaaa, katanya aku harus move on?” 

”Ups!”
***



Bu Nar, guru Matematika memasuki kelas. Suasana kelas mendadak senyap. Dari raut wajah Bu Nar, sudah tampak kekecewaan yang luar biasa. Ah, pasti lagi-lagi karena ekspektasi beliau yang terlalu tinggi dan malah membuat kami tertekan.

”Mengapa hasilnya seperti ini? Siapa kemarin yang menargetkan nilai sepuluh?”

Suasana kelas masih hening. Perlahan kami mengacungkan telunjuk ke udara. Benar, termasuk aku! Oh, target yang sungguh bodoh.

”Ini saja baru tujuh anak yang mendapat nilai delapan. Terendah masih ada nilai empat. Katanya kelas pilihan? Ra kacek![1]

Jleb! Akukah yang mendapat nilai empat? Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Ya Tuhan, berapa saja boleh asalkan tidak terendah di kelas.

”Suci Nurkhasanah…”

Tidak, itu benar-benar aku. Seketika aku lemas.

Nurima yang duduk di sebelahku memandangku penuh tanya.

”Kamu tidak senang, mendapat nilai delapan? Makanya jangan melamun. Bu Nar kan tadi bilang mau membacakan yang mendapat nilai delapan. Kamu tidak dengar, ya?”

Aku menggeleng sambil tertawa kecil. Lebih tepatnya tertawa bodoh. Benarkah?

”Gagal itu biasa. Bangkit dari kegagalan itu baru luar biasa.”

”Terima kasih kau sudah menamparku,” ucapku lirih.”Mungkin ini namanya memantaskan diri untuk orang yang aku cintai?”
 
***



[1]Tidak beda,  sama saja

Kamis, 23 Mei 2013

Terimakasih, Sedulur Perdu...

Jadi ceritanya nih tiba-tiba Mbak Dien bilang kalau di launching buletin edisi April 2013 ini, dia gak bisa hadir. Dan imbasnya apa? Aku--si Pimred wannabe dan baru pertama kalinya--disuruh gantiin. Argh! Ini edisi pertamaku! Belum tau apa-apa tapi udah dikasih tanggung jawab buat mimpin acara. Hiks.

Jadi, kami kopdar di *maaf lupa namanya* yang saat itu juga lagi ada acara pameran sejarah. Yah, jadi sekalian main gitu. Karena pertama kalinya aku ikut kopdar, jadi gak tau apa aja yang biasa dilakuin. Ternyata kayak sharing gitu.

Pertama, kami bedah isi buletin. Ada puisi, flash fiction, dan artikel. Kebetulan tema bulan April adalah wanita. Mulailah kami berbicara tentang wanita. Seru deh pokoknya. Tapi ada satu hal yang bikin aku kayak tersentak. Kala itu ada yang berkata, "Para perempuan di sini bisa masak kan? Karena tugas utama seorang wanita itu adalah mengurus rumah tangga. Jadi harusnya sedini mungkin belajar menjadi ibu dan istri yang baik."

Nahlho, aku sebagai perempuan merasa miris sama diriku sendiri. Kapan oh kapan? Aku akan belajar deh. Pasti bisa. XD *optimis

Oke, sesi sharing pun selesai. Karena di situ kebetulan ada pameran, jadi kami sekalian bagi-bagi buletin. Dan apa? Mas Puji salah satu anggota komunitas (yang emang kayaknya suka banget mojokin aku --"), nyuruh aku buat bagiin itu buletin. Bukan, bukan cuma itu. Kan bagiin itu sekalian promosi, ya taulah kalo kemampuan berbicaraku di bawah rata-rata... Tapi mau gimana lagi? Ya udah deh dengan sedikit terpaksa, aku tetep bagiin buletin. Dan sialnya apa? Saat aku sudah semangat buat ngomong, eh bapak-bapak yang saat itu aku ajak ngomong malah bilang,

"Maaf Mbak, di dalem aja ya promosinya. Kami di sini cuma jualan kaos."

Oke, gak papa. Beneran, gak papa.

Akhirnya kami benar-benar masuk ke pameran. Lihat-lihat... Ada bagian koran tempo dulu lho, yang memperlihatkan perkembangan pers di Magelang. Sayang saat itu gak ambil foto. Oke, lihat-lihat pun selesai. Saatnya menjalankan misi utama! Mulai bla bla bla buat promosi. Tanggapan mereka sih alhamdulillah baik. :)

Sampai di suatu tempat, kami bertemu salah seorang sesepuh Perdu. Namanya Pak Mbilung. Nah, saat itu ada yang nyeletuk, "Kayaknya ada yang ulang tahun nih." Aku merasa termention. Wkwk. Yup, hari itu tanggal 28 April 2013 adalah ulang tahunku yang ke 17. Iya, inilah saat di mana aku bisa bikin KTP. *maaf gak nyambung

Sedulur Perdu mendadak menatap ke arahku. Satu per satu memberi ucapan selamat dan doa yang tulus. Jadi terharu. Sambutan yang hangat dari keluarga baru, menurutku. Hehe. Terima kasih, Sedulur Perdu. :')

Karena hari sudah hampir sore, maka kami pulang. Sampai rumah, masih keinget acara lho. Sedulur, sekali lagi terima kasih. Terima kasih buat sambutan hangat, ilmu, ucapan selamat, dan terima kasih udah jadi keluarga baru buatku.

Salam Perdu. Tetap semangat berkarya! ^_^

Rabu, 24 April 2013

Sepotong Hati di Stasiun Kereta

Aku menatap sepatuku yang sekarang basah terkena percikan air hujan. Sial! Susah payah tadi pagi aku menyemirnya. Sekarang jadi lusuh begini. Kuraih sebuah tissue di saku kemejaku, dan berusaha mengeringkan sepatuku. Sedikit membantu.

”Hai, Nay!”

Aku mencari sumber suara, tak lagi memedulikan nasib sepatuku. Seorang gadis dengan mantel bulu berwarna cokelat dan sepatu boots berwarna senada melambaikan tangan ke arahku.

”Hai!” balasku. Aku melambaikan tanganku seraya tersenyum.

Namanya Grita. Ia kini mendekat dan berdiri di sebelahku. Berkali-kali ia lirik jam tangan yang melingkar indah di pergelangan tangan kirinya.

”Kita hampir telat,” katanya kemudian.

”Oh...,” jawabku mengambang.

”Kok cuma ’oh’, sih? Aku tidak sepertimu yang biasa telat,” ledeknya.

Aku hanya tersenyum mendengarnya. Lima detik kemudian  sebuah kereta tampak dari kejauhan. Sambil melonjak kegirangan, Grita menatapku.

”Kita tidak jadi telat!”

Kini Grita berjalan menuju kereta dan menggandeng tanganku—lebih tepatnya setengah menyeretku. Ku tepis tangannya dan berjalan kembali ke tempatku semula.

”Aku nanti saja, Grit.”

”Hei, mungkin ini kereta terakhir sebelum bel masuk berbunyi, lho!” protesnya.

Aku menunduk lesu. Mungkin Grita sudah mengerti maksudku, karena setelah itu ia masuk ke kereta tanpa menghiraukanku lagi.

Kereta perlahan mulai berjalan. Aku merelakan kereta terakhirku. Kulambaikan tangan padanya yang kini ada di balik jendela dengan wajah protesnya, seolah tidak ingin aku lagi-lagi terlambat.

”Ah, kenapa belum juga datang?” gumamku. Entah kenapa, aku kini mulai mengkhawatirkan keterlambatanku yang sudah kesekian kalinya. Tidak ada lagi anak berpakaian seragam menunggu di stasiun. Cuma aku, dan sesosok pemuda yang duduk di belakangku.

Sambil merutuki nasibku sendiri, aku duduk di kursi tempatku biasa menunggu. Siapa sih, orang bodoh yang mau menunggu setiap hari di stasiun kereta lebih dari dua jam? Siapa sih, orang bodoh yang rela terlambat sekolah dan dihukum membersihkan toilet? Ya, itu semua aku. Jawabannya adalah aku!

Di tengah dinginnya hujan, mataku kini tertuju pada seorang pemuda yang kini berlari ke arahku. Ia menyunggingkan senyum di bibir tipisnya. Ke arahku pula! Tunggu sebentar, dia...

Aku mengarahkan telunjuk ke wajahku. Seperti ingin berkata, kau tersenyum padaku?
Benarkah dia? Dia yang selama ini telah... benarkah ia menyadari keberadaanku? Mataku kini membulat, dan kurasa pipiku kini memerah. Saking kaget setengah tidak percaya, membalas senyumnya pun rasanya sulit.


Aku bangkit berdiri. Seakan tak peduli percikan air hujan yang kini semakin deras dan membasahi rokku. Aku berdiri, seakan siap menyambutnya. Dan apa yang terjadi? Dia..., dia bukan tersenyum untukku. Lebih tepatnya, dia tidak menyadari keberadaanku. Dia berjalan melewatiku dan menghampiri seorang pemuda yang duduk di belakangku. Sambil menunduk malu, aku menoleh ke belakang.


Aku kini tak menghiraukan derasnya air hujan yang seakan menghantam apa pun yang ada di bawahnya, termasuk aku. Aku berjalan keluar stasiun. Aku tidak ingin naik kereta hari ini. Payung yang kukenakan pun tak cukup membantu, pipiku tetap basah. Ah, bukan saatnya menyalahkan payung karena airmataku sendiri.


Kereta kini berjalan pelan dan berhenti. Pemuda itu masuk bersama sahabatnya. Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. 

”Kau Naya? Sekolah kita searah, kenapa kita tidak berangkat bersama?”

 Ah, kalimat itu seakan kalimat yang paling ingin kudengar darinya. Dari pemuda itu. Dari Ichsan Arditia Putra, kakak Grita.

***


Ini pesenannya Ichsan Arditia Putra. Maaf kalo mengecewakan. Hehe.





Rabu, 13 Februari 2013

Hujan di Angkutan Merah Jambu --Buletin Perdu edisi Desember 2012

Aku adalah mendung
Dan akan selamanya menjadi mendung

Kubaca berulangkali pesan dinding yang sejak dua hari yang lalu muncul di kronologi akun facebook-ku. Aku berharap menemukan arti larik bermajas itu. Siapa sebenarnya dirimu? Mengapa kau selalu mengirimkan teka-teki kepadaku?

”Ah, sudahlah!” gumamku tak mau ambil pusing. Kumatikan laptop dan kurebahkan tubuhku di kasur. Hujan yang sejak tadi sore jatuh, belum reda. Malam yang dingin, dan aku pun terlelap dalam buaian irama hujan.

Jalanan  yang masih basah mengantarkanku dan angkutan merah jambu yang aku naiki menuju sekolah. Aku menatap jok depan angkutan ini. Masih sama sejak satu tahun yang lalu. Tidak ada dirinya.

”Pagi, Keni! Pasti semalam wayangan belajar Kimia. Lihat matamu!”

”Ihh, sok tahu, kamu. Ini ulah Chemie.”

”Dia lagi? Kamu mulai tertarik? Lalu, bagaimana dengan Indra, cowok angkutan pink kamu?”

”Sssttt, jangan keras-keras! Sebentar lagi dia datang. Aku tidak...,”

Sedetik kemudian aku baru sadar kalau Indra sudah di depan pintu. Jantungku sampai mau meloncat. Bagaimana ini? Aku bisa pingsan karena malu jika dia mendengarnya. Aku menarik napas. Tidak ada yang terjadi. Aku bisa bernapas lega.

”Pagi, Rum!” sapa Indra memecah kebekuan di antara kami.

”Pagi. Kehujanan?” tanya Arum.

”Iya. Tetapi inilah saat yang selalu aku tunggu. Hujan,” jawab Indra.

”Hah?”

”Bisa main air.”

Konyol. Mereka berdua melupakan keberadaanku. Aku tercenung. Tak bisakah mengucapkan hai padaku bila bertemu? Jika masih terlalu sulit, apakah sekadar tersenyum masih berat untukmu?

Entah mengapa aku tidak bisa konsentrasi hari ini. Pelajaran Kimia yang selalu aku nanti pun kini rasanya membosankan. Aku menatap ke luar jendela. Aku berpikir keras tentang mendung. Selamanya menjadi mendung? Apa maksudnya? Mendung yang telah menumpahkan hujan, bantu aku!

Deg! Hujan, mendung, semua berputar di otakku. Mungkinkah itu? Chemie, apakah itu benar dirimu? Dirimu yang tahu segala sesuatu yang aku sukai? Seharusnya aku sudah tahu sejak awal. Namamu, kau pilih nama itu karena kau tahu aku sangat menyukai Kimia, kan?

Aku sudah tahu apa maksud teka-teki itu.
Temui aku di tempat favoritku, di jam yang sama hanya jika hujan. J

Kuakhiri pesan dindingku untuk Chemie dengan emoticon smile. Besok aku akan bertemu dengannya di tempat favoritku. Ya, hanya jika hujan karena aku ingat betul bagaimana malunya  aku waktu itu.

***
Gerimis tak meredupkan semangatku pagi ini. Malahan sebaliknya, inilah yang sudah aku tunggu sejak seminggu yang lalu. Kurasa awan di langit sedang menguji kesabaranku. Aku berdiri di bawah gardu bertuliskan ”Denokan”. Itu dia, angkutan merah jambu yang sejak sepuluh menit yang lalu kutunggu. Sepuluh menit terlama dalam hidupku.

Inilah waktunya melaksanakan ritual pagi: menatap jok depan. Aku tersenyum melihat siapa yang ada di sana.
”Jika tahun lalu aku menjadi hujan, maka sekarang waktunya kau menjadi hujan,” kataku.

”Jika aku ingin tetap menjadi mendung?” 

Aku diam sejenak.

”Aku hanya bercanda. Aku lelah menjadi mendung yang tidak bisa mencurahkan isi hatinya,” lanjutnya sembari tersenyum.

Dinginnya hujan pagi ini terhapus oleh kehangatan senyummu. Ah, kau bagaikan histeria.


***