Jumat, 24 Mei 2013

Move On, Kawan! - Buletin Perdu #7

”Kau itu memang anak yang gagal move on. Sehari maju, sehari mundur lagi.” 

”Tapi dia….”

Kali ini Nurima menatapku tajam. Baru kali ini aku melihatnya menatapku seperti itu. Aku sampai tak berani meneruskan ucapanku.

”Sadarlah! Banyak hal lain yang lebih layak kau pikirkan. Berapa nilai matematikamu kemarin? Sudah delapan? Atau sembilan?”

Aku menunduk lesu sekaligus geram. Rasanya seperti ditampar. Tidak bisakah ia mengecilkan suaranya? Aku memang meminta nasehatnya, tetapi tidak bisakah ia lebih halus? Aku lalu menghitung dengan jari, berapa kali aku mendapat delapan? Oh, tidak! Sebaiknya aku hitung saja berapa kali aku mendapat enam.

Aku menggeleng pelan.

”Suci, mengapa pucat seperti itu? Kata-kataku terlalu kasar, ya? Maaf, aku tidak bermaksud untuk….”

”Kau benar, Nurima. Seharusnya aku melupakannya,” ucapku pelan.

Aku kembali mengingat deretan kejadian mengerikan saat aku bersamanya. Ya, dia lelaki pertama yang telah membuatku berdebar setiap kali melihatnya. Mengerikan? Bukan perasaanku yang mengerikan, tetapi sikapnya padaku. Sudahlah, tidak perlu diingat lagi.

”Apa aku harus mendapat nilai delapan?” tanyaku datar pada Nurima yang kini menatapku dengan penuh rasa bersalah.

”Mungkin itu namanya memantaskan diri untuk orang yang kau cintai.” 

”Nurimaaa, katanya aku harus move on?” 

”Ups!”
***



Bu Nar, guru Matematika memasuki kelas. Suasana kelas mendadak senyap. Dari raut wajah Bu Nar, sudah tampak kekecewaan yang luar biasa. Ah, pasti lagi-lagi karena ekspektasi beliau yang terlalu tinggi dan malah membuat kami tertekan.

”Mengapa hasilnya seperti ini? Siapa kemarin yang menargetkan nilai sepuluh?”

Suasana kelas masih hening. Perlahan kami mengacungkan telunjuk ke udara. Benar, termasuk aku! Oh, target yang sungguh bodoh.

”Ini saja baru tujuh anak yang mendapat nilai delapan. Terendah masih ada nilai empat. Katanya kelas pilihan? Ra kacek![1]

Jleb! Akukah yang mendapat nilai empat? Aku sibuk dengan pikiranku sendiri. Ya Tuhan, berapa saja boleh asalkan tidak terendah di kelas.

”Suci Nurkhasanah…”

Tidak, itu benar-benar aku. Seketika aku lemas.

Nurima yang duduk di sebelahku memandangku penuh tanya.

”Kamu tidak senang, mendapat nilai delapan? Makanya jangan melamun. Bu Nar kan tadi bilang mau membacakan yang mendapat nilai delapan. Kamu tidak dengar, ya?”

Aku menggeleng sambil tertawa kecil. Lebih tepatnya tertawa bodoh. Benarkah?

”Gagal itu biasa. Bangkit dari kegagalan itu baru luar biasa.”

”Terima kasih kau sudah menamparku,” ucapku lirih.”Mungkin ini namanya memantaskan diri untuk orang yang aku cintai?”
 
***



[1]Tidak beda,  sama saja

Kamis, 23 Mei 2013

Terimakasih, Sedulur Perdu...

Jadi ceritanya nih tiba-tiba Mbak Dien bilang kalau di launching buletin edisi April 2013 ini, dia gak bisa hadir. Dan imbasnya apa? Aku--si Pimred wannabe dan baru pertama kalinya--disuruh gantiin. Argh! Ini edisi pertamaku! Belum tau apa-apa tapi udah dikasih tanggung jawab buat mimpin acara. Hiks.

Jadi, kami kopdar di *maaf lupa namanya* yang saat itu juga lagi ada acara pameran sejarah. Yah, jadi sekalian main gitu. Karena pertama kalinya aku ikut kopdar, jadi gak tau apa aja yang biasa dilakuin. Ternyata kayak sharing gitu.

Pertama, kami bedah isi buletin. Ada puisi, flash fiction, dan artikel. Kebetulan tema bulan April adalah wanita. Mulailah kami berbicara tentang wanita. Seru deh pokoknya. Tapi ada satu hal yang bikin aku kayak tersentak. Kala itu ada yang berkata, "Para perempuan di sini bisa masak kan? Karena tugas utama seorang wanita itu adalah mengurus rumah tangga. Jadi harusnya sedini mungkin belajar menjadi ibu dan istri yang baik."

Nahlho, aku sebagai perempuan merasa miris sama diriku sendiri. Kapan oh kapan? Aku akan belajar deh. Pasti bisa. XD *optimis

Oke, sesi sharing pun selesai. Karena di situ kebetulan ada pameran, jadi kami sekalian bagi-bagi buletin. Dan apa? Mas Puji salah satu anggota komunitas (yang emang kayaknya suka banget mojokin aku --"), nyuruh aku buat bagiin itu buletin. Bukan, bukan cuma itu. Kan bagiin itu sekalian promosi, ya taulah kalo kemampuan berbicaraku di bawah rata-rata... Tapi mau gimana lagi? Ya udah deh dengan sedikit terpaksa, aku tetep bagiin buletin. Dan sialnya apa? Saat aku sudah semangat buat ngomong, eh bapak-bapak yang saat itu aku ajak ngomong malah bilang,

"Maaf Mbak, di dalem aja ya promosinya. Kami di sini cuma jualan kaos."

Oke, gak papa. Beneran, gak papa.

Akhirnya kami benar-benar masuk ke pameran. Lihat-lihat... Ada bagian koran tempo dulu lho, yang memperlihatkan perkembangan pers di Magelang. Sayang saat itu gak ambil foto. Oke, lihat-lihat pun selesai. Saatnya menjalankan misi utama! Mulai bla bla bla buat promosi. Tanggapan mereka sih alhamdulillah baik. :)

Sampai di suatu tempat, kami bertemu salah seorang sesepuh Perdu. Namanya Pak Mbilung. Nah, saat itu ada yang nyeletuk, "Kayaknya ada yang ulang tahun nih." Aku merasa termention. Wkwk. Yup, hari itu tanggal 28 April 2013 adalah ulang tahunku yang ke 17. Iya, inilah saat di mana aku bisa bikin KTP. *maaf gak nyambung

Sedulur Perdu mendadak menatap ke arahku. Satu per satu memberi ucapan selamat dan doa yang tulus. Jadi terharu. Sambutan yang hangat dari keluarga baru, menurutku. Hehe. Terima kasih, Sedulur Perdu. :')

Karena hari sudah hampir sore, maka kami pulang. Sampai rumah, masih keinget acara lho. Sedulur, sekali lagi terima kasih. Terima kasih buat sambutan hangat, ilmu, ucapan selamat, dan terima kasih udah jadi keluarga baru buatku.

Salam Perdu. Tetap semangat berkarya! ^_^