”Tapi dia….”
Kali ini Nurima menatapku tajam. Baru kali ini aku
melihatnya menatapku seperti itu. Aku sampai tak berani meneruskan ucapanku.
”Sadarlah! Banyak hal lain yang lebih layak kau
pikirkan. Berapa nilai matematikamu kemarin? Sudah delapan? Atau sembilan?”
Aku menunduk lesu sekaligus geram. Rasanya seperti
ditampar. Tidak bisakah ia mengecilkan suaranya? Aku memang meminta nasehatnya,
tetapi tidak bisakah ia lebih halus? Aku lalu menghitung dengan jari, berapa
kali aku mendapat delapan? Oh, tidak! Sebaiknya aku hitung saja berapa kali aku
mendapat enam.
Aku menggeleng pelan.
”Suci, mengapa pucat seperti itu? Kata-kataku
terlalu kasar, ya? Maaf, aku tidak bermaksud untuk….”
”Kau benar, Nurima. Seharusnya aku melupakannya,”
ucapku pelan.
Aku kembali mengingat deretan kejadian mengerikan
saat aku bersamanya. Ya, dia lelaki pertama yang telah membuatku berdebar
setiap kali melihatnya. Mengerikan? Bukan perasaanku yang mengerikan, tetapi
sikapnya padaku. Sudahlah, tidak perlu diingat lagi.
”Apa aku harus mendapat nilai delapan?” tanyaku
datar pada Nurima yang kini menatapku dengan penuh rasa bersalah.
”Mungkin itu namanya memantaskan diri untuk orang
yang kau cintai.”
”Nurimaaa, katanya aku harus move on?”
”Ups!”
***
Bu Nar, guru Matematika memasuki kelas. Suasana
kelas mendadak senyap. Dari raut wajah Bu Nar, sudah tampak kekecewaan yang
luar biasa. Ah, pasti lagi-lagi karena ekspektasi beliau yang terlalu tinggi
dan malah membuat kami tertekan.
”Mengapa hasilnya seperti ini? Siapa kemarin yang
menargetkan nilai sepuluh?”
Suasana kelas masih hening. Perlahan kami
mengacungkan telunjuk ke udara. Benar, termasuk aku! Oh, target yang sungguh
bodoh.
”Ini saja baru tujuh anak yang mendapat nilai
delapan. Terendah masih ada nilai empat. Katanya kelas pilihan? Ra kacek![1]”
Jleb! Akukah yang mendapat nilai empat? Aku sibuk
dengan pikiranku sendiri. Ya Tuhan,
berapa saja boleh asalkan tidak terendah di kelas.
”Suci Nurkhasanah…”
Tidak, itu benar-benar aku. Seketika aku lemas.
Nurima yang duduk di sebelahku memandangku penuh
tanya.
”Kamu tidak senang, mendapat nilai delapan?
Makanya jangan melamun. Bu Nar kan tadi bilang mau membacakan yang mendapat
nilai delapan. Kamu tidak dengar, ya?”
Aku menggeleng sambil tertawa kecil. Lebih
tepatnya tertawa bodoh. Benarkah?
”Gagal itu biasa. Bangkit dari kegagalan itu baru
luar biasa.”
”Terima kasih kau sudah menamparku,” ucapku lirih.”Mungkin ini namanya memantaskan diri untuk
orang yang aku cintai?”
***